
Foto : Suasana Rapat Paripurna DPRD Kota Cilegon membahas Perubahan KUA-PPAS 2025. Banyaknya kursi kosong dari jajaran eksekutif mendapat sorotan tajam dari anggota dewan CILEGON – PARLEMEN.COM — Alih-alih menjadi panggung pengambilan keputusan penting, Rapat Paripurna DPRD Kota Cilegon yang digelar Kamis, 10 Juli 2025, justru menyisakan pemandangan mencolok: deretan kursi kosong di jajaran undangan kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Rapat yang membahas Penandatanganan Nota Kesepakatan Perubahan KUA dan PPAS Tahun Anggaran 2025 itu berlangsung dengan kehadiran pejabat eksekutif yang minim.
Pemandangan itu langsung disorot oleh anggota DPRD dari Fraksi Partai Golkar, Erik Airlangga Al Ghazali. Dalam interupsinya, Erik mengkritik keras ketidakhadiran para kepala dinas yang menurutnya mencerminkan kurangnya keseriusan dalam menyikapi agenda penting pemerintahan.
“Intrupsi, Pimpinan. Sebelum kita lanjutkan, mari kita lihat kursi-kursi kosong di belakang. Sangat luar biasa. Banyak OPD yang tidak hadir,” ucap Erik, dengan nada tinggi.
Paripurna ini bukan rapat biasa. Ia merupakan forum strategis yang menentukan arah perubahan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) – dokumen krusial yang menjadi fondasi penyusunan APBD Perubahan 2025. Ketidakhadiran para kepala OPD, menurut Erik, berpotensi melemahkan sinergi antara legislatif dan eksekutif.
Ia pun menuntut evaluasi serius dari pimpinan daerah, khususnya Wakil Wali Kota Cilegon yang hadir dalam forum tersebut.
“Ini harus jadi catatan penting bagi Pak Wakil Wali Kota. Kepala OPD yang hadir perlu diapresiasi. Tapi yang absen tanpa alasan jelas, harus dievaluasi. Jangan sampai jadi preseden buruk ke depan,” tegasnya.
Kritik Erik bukan sekadar soal etika kehadiran. Di balik sorotannya, tersimpan kegelisahan yang lebih dalam: bagaimana mungkin pengambilan keputusan anggaran bisa berjalan efektif, jika para pemegang otoritas teknis justru tidak menunjukkan komitmen terhadap proses politik dan perencanaan publik?
Di tengah tuntutan transparansi dan partisipasi publik dalam tata kelola anggaran, ketidakhadiran itu terasa seperti kemunduran. Sebuah ironi, ketika pemerintah daerah menggembar-gemborkan reformasi birokrasi, namun abai terhadap disiplin paling mendasar: hadir tepat waktu, dalam forum yang menentukan masa depan kota.
(Yan/Red*)

Tidak ada komentar