
CILEGON-PARLEMEN.COM — Suhu politik organisasi kepemudaan di Kota Cilegon mulai memanas. Pemilihan Ketua Karang Taruna yang seharusnya menjadi ajang regenerasi sosial pemuda kini berubah menjadi gelanggang tarik-menarik kepentingan. Sejumlah nama disebut-sebut mendapat “restu” dari dua poros kekuasaan: kalangan pemerintahan dan DPRD.
Di tengah riuh spekulasi itu, Caretaker Karang Taruna Kota Cilegon, Tatang Tarmidzi, berusaha menenangkan gelombang. Ia menegaskan bahwa proses pemilihan akan tetap berjalan sesuai mekanisme organisasi, tanpa campur tangan siapa pun.
“Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan sepanjang kita betul-betul mengutamakan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi,” ujarnya, Kamis (6/11/2025), usai pertemuan dengan Wali Kota.
Namun, ucapan Tatang seolah mengambang di udara. Sebab, di lapangan, rumor tentang adanya “restu politik” kian berembus kencang. Beberapa nama kandidat disebut-sebut dekat dengan lingkaran pemerintahan, sementara yang lain dikabarkan mendapat dukungan diam-diam dari beberapa anggota DPRD. Persaingan yang semula bersifat internal kini menciptakan bayangan politik yang kental.
Tatang tidak menampik dinamika itu. Ia menyebutnya sebagai hal yang lumrah dalam sebuah organisasi besar. “Kalau informasi dari media memang ada yang menyebut nama-nama, mulai dari dewan sampai wakil wali kota. Tapi itu bagian dari dinamika saja. Semakin banyak calon, semakin sehat kompetisinya,” katanya dengan nada diplomatis.
Ia pun menegaskan, Karang Taruna bukan arena perebutan pengaruh politik, melainkan wadah kaderisasi sosial. Setiap calon, kata dia, harus melalui mekanisme yang jelas — mulai dari rekomendasi pengurus kecamatan hingga verifikasi oleh steering committee.
“Tidak bisa tiba-tiba ada orang yang belum pernah berkarangtaruna langsung maju. Ada aturan mainnya,” tegasnya.
Dalam konteks ini, posisi Wali Kota sebagai pembina umum Karang Taruna juga menjadi sorotan. Sebagian pihak menilai status itu memberi ruang bagi intervensi halus terhadap arah dukungan organisasi. Namun Tatang menepis tudingan tersebut.
“Beliau itu pembina umum, bukan penentu arah organisasi. Kami justru berharap siapapun yang terpilih nanti bisa bersinergi dengan pemerintah. Karena Karang Taruna ini organisasi sosial, bukan alat politik,” ujarnya.
Meski begitu, aroma rivalitas politik lokal tak bisa diabaikan. Di Cilegon, di mana urusan sosial kerap bersinggungan dengan kepentingan pemerintahan, garis antara pembinaan dan intervensi menjadi kabur. Pemilihan Karang Taruna kali ini seolah menjadi cermin kecil dari bagaimana kekuasaan mencari ruang pengaruh di setiap lapisan masyarakat — bahkan di organisasi pemuda.
Tatang memilih jalan tengah. Ia menempatkan diri sebagai penjaga netralitas, memastikan roda organisasi tetap di rel yang benar. “Kita kawal agar pemilihan ini berjalan tertib. Tidak ada istilah ditekan-tekan atau diarahkan. Semua punya hak yang sama,” ujarnya menutup pembicaraan.
Bagi Tatang, Karang Taruna bukan gelanggang politik, melainkan ruang sosial yang seharusnya menumbuhkan solidaritas. Tapi di kota seperti Cilegon — tempat politik dan kekuasaan berkelindan dengan urusan sosial — menjaga kemurnian organisasi mungkin justru menjadi ujian terbesar.
(Yan/Red*)

Tidak ada komentar