x

Erik Airlangga; Kerukunan, Jalan Sunyi Nasionalisme Sehari-hari

waktu baca 2 menit
Minggu, 17 Agu 2025 11:41 17 Redaksi

CILEGON-PARLEMEN.COM, Bagi sebagian orang, kemerdekaan dirayakan dengan keriuhan lomba dan pesta rakyat. Namun bagi Erik Airlangga, anggota DPRD Kota Cilegon dari Fraksi Golkar, kemerdekaan tak cukup diperingati dengan gegap gempita seremonial. Ada makna yang lebih dalam: mempersatukan masyarakat dalam kerukunan bertetangga dan mengenang perjuangan para pejuang.

“Sekarang kita memang tidak lagi angkat senjata. Tapi perjuangan belum selesai. Bentuk nasionalisme hari ini adalah bagaimana kita hidup damai, rukun, dan saling menghargai di lingkungan sekitar,” kata Erik saat di konfirmasi wartawan, Minggu (17/8/2025).

Dari Balap Karung ke Doa untuk Pahlawan

Suasana kemerdekaan di Cilegon tahun ini memperlihatkan kontras yang indah: pagi hingga sore diwarnai keriuhan lomba tujuhbelasan, malam harinya berubah khidmat dalam doa dan renungan kemerdekaan.

Bagi Erik, kegiatan semacam itu bukan sekadar nostalgia atau hiburan tahunan. Balap karung, tarik tambang, hingga panjat pinang adalah sarana mempererat silaturahmi antarwarga. Sedangkan doa untuk pahlawan adalah pengingat bahwa kemerdekaan hari ini adalah warisan darah dan air mata.

“Kita mudah lupa bahwa merdeka itu hasil pengorbanan besar. Karena itu, mengenang para pejuang tidak cukup dengan upacara, tapi juga dengan menjaga kerukunan,” ujarnya.

Kerukunan Sebagai Benteng Bangsa

Erik menekankan, kerukunan bertetangga adalah benteng paling nyata dari nilai kebangsaan. Di tengah derasnya arus individualisme, konflik horizontal, hingga maraknya hoaks yang memecah belah, menjaga hubungan baik dengan tetangga menjadi sikap politik sekaligus spiritual.

“Perbedaan suku, agama, atau pilihan politik seharusnya tidak jadi jurang. Justru keberagaman itu kekuatan bangsa sejak dulu. Kalau tidak dirawat, kita bisa rapuh dari dalam,” katanya.

Dari Lingkungan Kecil Menuju Indonesia yang Utuh

Erik percaya, nasionalisme tidak selalu lahir di ruang sidang parlemen atau forum elite politik. Ia tumbuh di ruang kecil: di gang sempit, halaman rumah, dan lapangan kampung. Dari kerukunan yang sederhana itu, lahir kekuatan besar bernama persatuan Indonesia.

“Mudah-mudahan budaya kebersamaan ini tak hanya hidup di 17 Agustus, tapi jadi tradisi kita setiap hari. Karena bangsa yang besar tumbuh dari masyarakat yang rukun,” tutur Erik.

 

(Yan/Red*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA
x