CILEGON-PARLEMEN.COM – Wacana perpanjangan masa jabatan kepala daerah dari lima tahun menjadi tujuh tahun tengah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Isu ini tidak hanya menjadi perdebatan di pusat, tapi juga mulai memantik respons di daerah.
Salah satunya datang dari Anggota DPR RI Fraksi PAN, Edison Sitorus, yang menyampaikan isu tersebut dalam acara Muharam Culture Festival 2025 di Alun-Alun Kota Cilegon, Jumat malam (27/6/2025). Ia mengingatkan bahwa perpanjangan masa jabatan jangan sampai justru menjadi “bonus kekuasaan” untuk kepala daerah yang belum terbukti kinerjanya.
“Pemimpin daerah harus kompak dan akur, meski baru seumur jagung menjabat,” kata Edison merujuk pada duet Walikota dan Wakil Walikota Cilegon yang baru menjabat sekitar empat bulan.
“Kalau dari sekarang sudah silang arah, bagaimana bisa membangun kota?”
Gugatan di MK, Peluang Tambahan 2 Tahun
Uji materi yang sedang digodok di MK berkaitan dengan Pasal 162 Undang-Undang Pilkada. Jika dikabulkan, masa jabatan kepala daerah bisa diperpanjang dua tahun, dari lima menjadi tujuh tahun.
Para penggugat berdalih bahwa lima tahun terlalu singkat untuk menjalankan program pembangunan secara berkelanjutan. Namun, kritik datang dari berbagai kalangan. Banyak yang menilai wacana ini justru membuka celah penyalahgunaan kekuasaan dan melemahkan prinsip akuntabilitas elektoral.
“Gunakan waktu yang tersisa untuk melayani rakyat, bukan sibuk konflik internal atau hitung-hitungan politik,” tegas Edison.
Cilegon Jadi Cermin
Cilegon sendiri sedang dalam masa awal kepemimpinan baru. Namun, hingga kini belum terlihat tanda-tanda perubahan signifikan. Layanan publik stagnan.
Di tengah situasi seperti ini, wacana tambahan dua tahun masa jabatan terasa janggal. Tanpa sinergi yang kuat di tingkat eksekutif, perpanjangan justru bisa memperpanjang masalah.
Demokrasi Butuh Batas
Perpanjangan jabatan bukan hanya soal teknis waktu, tapi soal legitimasi. Dalam sistem demokrasi, kekuasaan yang terlalu lama tanpa evaluasi dari rakyat rentan disalahgunakan.
“Ini bukan soal nyaman atau tidak bagi pejabat. Ini soal kepercayaan publik dan tanggung jawab konstitusional,” kata Edison.
Kini, keputusan ada di tangan Mahkamah Konstitusi. Tapi dampaknya akan dirasakan langsung oleh daerah. Pertanyaannya: apakah ini demi kepentingan rakyat—atau sekadar kenyamanan para penguasa?
(Has/Red*)
Tidak ada komentar