
Oplus_131072 CILEGON-PARLEMEN.Com, Di panggung politik Kota Baja, nama Haji Rahmatullah tidak lagi asing. Ia bukan sekadar wajah di kursi parlemen, melainkan suara yang kerap menggetarkan ruang sidang dengan keberaniannya membela rakyat kecil.
Dalam catatan publik, Rahmatullah dikenal lantang memperjuangkan hak-hak yang kerap terpinggirkan: dari tenaga honorer hingga guru ngaji yang hidup dengan insentif serba terbatas. Kritiknya sering membuat sidang dewan lebih hidup—dan tak jarang menohok pihak eksekutif.
“Kalau bicara rakyat, Haji Rahmat selalu di depan. Dia bukan sekadar duduk, tapi bersuara. Itu yang membuatnya berbeda,” ujar Mulyadi Sanusi, atau akrab disapa Cak Moel, Rabu, 1 Oktober 2025. Ia adalah tokoh yang menyebut dirinya pegiat perubahan nasional, yang kemudian menyerahkan Golok Buyut Ciluit kepada Rahmatullah sebagai simbol perjuangan.
Golok itu bukan sekadar benda pusaka. Bagi masyarakat Banten, ia adalah simbol marwah dan keberanian, pengingat agar pemimpin tak gentar menegakkan keadilan. Penyerahan itu, kata Cak Moel, adalah dukungan moral agar Rahmatullah tetap konsisten menjaga garis perjuangan rakyat.
Di masyarakat, Rahmatullah punya sebutan khas: “APBD untuk Rakyat.” Sebuah tagline yang lahir dari sikapnya menyerap aspirasi warga, sekaligus lantang menyuarakan kepentingan publik dalam ruang dewan. Dari soal kebijakan anggaran, nasib buruh, hingga persoalan tenaga honorer, ia hadir dengan kritik tajam yang kerap menjadi penyeimbang dominasi pemerintah kota.
“Golok ini semacam pengingat, supaya dia tidak berhenti menjadi suara rakyat,” tegas Cak Moel.
Di tengah stagnasi politik lokal, kehadiran figur seperti Rahmatullah memberi warna tersendiri. Ia menolak diam, memilih berbicara, bahkan ketika risikonya adalah kontroversi. Bagi sebagian warga, keberanian itu adalah bukti bahwa politik masih bisa dijalani dengan niat tulus—untuk rakyat, bukan sekadar kekuasaan.
(Yan/Red*)

Tidak ada komentar