
oplus_0 CILEGON-PARLEMEN.COM, Kota Cilegon kembali menatap tahun anggaran 2026 dengan bayangan kelam: defisit. Padahal geliat industri baja, kimia, dan energi di kota ini tak pernah surut. Di balik megahnya cerobong dan kilau investasi, nyatanya kas daerah justru kering.
Ketua Komisi I DPRD Kota Cilegon, Ahmad Hafid, tak menutupi kekesalannya. Ia menyebut, sumber masalahnya bukan pada kecilnya potensi, melainkan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor industri—urat nadi utama pendapatan asli daerah (PAD).
“Kita ini kota industri, tapi pemerintah seperti menutup mata terhadap potensi pajaknya. Banyak perusahaan sudah memperluas lahan, tapi tidak dilaporkan. Itu kebocoran besar yang dibiarkan,” kata Hafid, Senin, 6 Oktober 2025.
Menurut Hafid, dua tahun terakhir target PAD Cilegon tak pernah tercapai. Pemerintah terpaksa merasionalisasi anggaran, memangkas kegiatan di berbagai sektor, tapi tak pernah menyentuh akar persoalan: pengawasan pajak industri yang longgar dan tidak terkoordinasi.
Kebocoran di Jantung Industri
Cilegon bukan kota kecil. Ia adalah episentrum industri berat di Banten, rumah bagi raksasa baja, kimia, dan petrokimia. Namun, dari gemuruh mesin dan kepulan asap itu, tak banyak rupiah yang mengalir ke kas daerah.
Hafid menyinggung praktik lama yang tampaknya belum sepenuhnya hilang. Banyak perusahaan memperluas area produksi dan membangun fasilitas baru tanpa pelaporan resmi. Pemerintah daerah—yang seharusnya menjadi pengawas utama—terkesan tak tahu menahu.
“Kita sudah pernah punya pengalaman, ada perusahaan besar yang bertahun-tahun memperluas lahan tanpa bayar PBB tambahan. Itu bukan kasus kecil. Dan saya yakin, hal seperti itu masih terjadi,” tegasnya.
Masalahnya, pengawasan terhadap sektor industri seperti ini sering kali kalah prioritas dibanding urusan kecil yang tak berbanding lurus dengan nilai ekonomi.
“Pemerintah jangan hanya sibuk ngurus P.A.D ecek-ecek seperti parkiran di sekolahan. Fokuslah pada yang bernilai besar—PBB industri itu sumber utama PAD kita,” sindir Hafid tajam.
Defisit yang Tak Pernah Selesai
Data keuangan daerah menunjukkan, dalam dua tahun terakhir realisasi PAD Cilegon selalu di bawah target. Padahal geliat produksi industri terus meningkat. Akibatnya, setiap tahun APBD Cilegon kembali disusun dengan bayang-bayang defisit, dan pemerintah terpaksa memotong pos belanja publik.
Bagi Hafid, defisit bukan semata angka minus di neraca, tapi indikator lemahnya tata kelola fiskal dan politik keberpihakan. Pemerintah, kata dia, lebih sibuk pada kegiatan simbolik ketimbang menata sistem pajak yang bisa menopang kemandirian fiskal.
“Kalau pajak industri saja bocor, buat apa kita bicara Cilegon sebagai kota mandiri atau smart city? Itu omong kosong kalau PAD-nya terus bocor di bawah meja,” ujar Hafid.
Momentum Reformasi Pajak Daerah
Desakan DPRD agar Pemkot Cilegon menata ulang mekanisme pengawasan pajak industri sebenarnya bukan baru kali ini muncul. Namun, kali ini, tekanan terasa lebih serius. Komisi I DPRD menginginkan evaluasi menyeluruh terhadap organisasi perangkat daerah (OPD) penghasil PAD, termasuk keberanian melakukan restrukturisasi lembaga jika memang terbukti tidak efektif.
Cilegon kini di persimpangan penting: terus membiarkan kebocoran pajak industri yang merongrong keuangan daerah, atau berani menertibkan sistem pengawasan secara menyeluruh—meski berisiko menyentuh kepentingan besar.
Sebab jika tidak, defisit bukan lagi sekadar soal administrasi anggaran, melainkan cermin dari lemahnya kepemimpinan fiskal di kota industri yang sejatinya kaya.
(Yan/Red*)

Tidak ada komentar