x

Ari Muhamad Nurhayat; 80 Tahun Merdeka, Saatnya Bangkit Sebagai Bangsa Besar

waktu baca 3 menit
Minggu, 17 Agu 2025 12:35 23 Redaksi

CILEGON-PARLEMEN.COM – Usia 80 tahun bukan angka kecil bagi sebuah bangsa. Itu usia matang, usia yang seharusnya cukup untuk membuat kita tegak berdiri di kaki sendiri—tanpa bergantung, tanpa dijajah, tanpa dikendalikan. Tapi pertanyaannya: benarkah kita sudah menjadi tuan di negeri sendiri?

Ari Muhamad Nurhayat, anggota DPRD Kota Cilegon dari Fraksi PKB, menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia hari ini tak boleh lagi sekadar dimaknai sebagai bebas dari penjajahan fisik. “Kini saatnya merdeka yang sebenar-benarnya: berdaulat dalam ekonomi, pendidikan, dan masa depan,” ujarnya dalam refleksi 80 Tahun Kemerdekaan RI, Minggu, 17 Agustus 2025.

Pernyataan Ari bukan sekadar retorika politik musiman. Di tengah gegap gempita perayaan kemerdekaan, ia justru mengajak kita mengoreksi cermin. Sebab, jika ditelisik lebih dalam, terlalu banyak ruang dalam kehidupan bangsa ini yang masih terasa ‘disewa’. Sumber daya alam kita masih dikeruk korporasi asing. Produk pertanian dibeli murah oleh pasar global, tapi dijual mahal kepada rakyat sendiri. Anak-anak muda belajar keras, hanya untuk menjadi kuli di negeri orang.

Kebebasan yang Semu

Tentu, tak ada lagi tentara kolonial yang menodongkan bayonet di pasar-pasar. Tak ada lagi kapal perang asing yang bersandar di pelabuhan kita. Tapi apakah dengan itu lantas kita bisa berkata: “Kami telah benar-benar merdeka”?

Ketimpangan ekonomi masih menganga. Segelintir elite menguasai harta kekayaan, sementara sebagian besar rakyat hidup dalam ketidakpastian. Lapangan kerja sempit, pendidikan berkualitas masih mewah, dan harga pangan terus membubung. Kita merdeka, tapi belum berdaulat.

Kemerdekaan yang Seharusnya

Menurut Ari, kemerdekaan sejati harus terasa dalam keseharian rakyat. Ia bukan sekadar seremoni tahunan dengan bendera dan lomba balap karung. Merdeka seharusnya berarti:

Rakyat bisa mengakses pekerjaan layak tanpa harus hijrah ke kota besar atau ke luar negeri.

Petani bisa menjual hasil taninya dengan harga adil.

Anak-anak di pelosok bisa belajar dengan guru berkualitas, bukan hanya bertahan hidup di kelas reyot.
Dan yang paling penting: bangsa ini punya kuasa penuh atas arah kebijakan, tak sekadar jadi pengikut arus global.
Menuju Indonesia Emas: Realita atau Slogan?

Tahun 2045 tinggal dua dekade lagi. Pemerintah punya ambisi besar menyambut “Indonesia Emas”—satu abad kemerdekaan yang diimpikan penuh kejayaan. Tapi tak ada jalan pintas menuju ke sana.

Kemerdekaan tidak diwariskan seperti pusaka. Ia harus diperjuangkan terus-menerus, dengan kerja nyata dan keberpihakan pada rakyat. Tak cukup dengan jargon, apalagi sekadar pidato. Kita butuh arah pembangunan yang berbasis pada kedaulatan, bukan sekadar pertumbuhan angka.

Jika tidak, maka usia 80 tahun hanyalah angka. Dan kita tetap akan jadi bangsa besar yang tak pernah dewasa.

Tuan Rumah, Bukan Tamu Abadi

Kita butuh kesadaran kolektif: menjadi tuan rumah di negeri sendiri adalah keharusan. Bukan hanya soal kebanggaan, tapi tentang harga diri. Indonesia tidak boleh terus menjadi panggung bagi kepentingan asing atau elite lokal yang rakus.

Sudah saatnya kita mengembalikan makna kemerdekaan ke tempatnya yang hakiki—ke tangan rakyat.

Delapan dekade setelah proklamasi, Indonesia di persimpangan jalan. Apakah akan terus terlena dengan euforia masa lalu, atau bangkit dan membenahi masa depan?

 

(Yan/Red*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA
x